22 Tahun Mengelabui FBI

Perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, selama hampir setengah abad, telah menciptakan pertarungan kekuatan intelijen dua negara adidaya tersebut. Alih-alih melindungi kepentingan negaranya, para agen spionase mengeruk keuntungan dari kedua pihak dengan menjadi agen ganda. Seorang agen FBI bahkan sukses melakukan penyamaran selama 22 tahun, dengan imbalan uang hingga jutaan dolar.

Sejak remaja, Robert Phillips Hanssen sudah memiliki ketertarikan terhadap dunia intelijen. Kegemarannya membaca cerita dan menonton film James Bond, mengoleksi perlengkapan intelijen seperti pistol Walther PPK, kamera Leica dan radio gelombang pendek, serta membuka sebuah rekening bank di Swiss. Tokoh idolanya adalah seorang agen spionase Soviet, Kim Philby. Sewaktu menjadi mahasiswa di Knox College, ia pun mengambil mata kuliah pilihan bahasa Rusia.

Selepas kuliah, tahun 1966, Hanssen melamar pekerjaan sebagai kriptografer atau orang yang bertugas menjaga kerahasiaan informasi, di Badan Keamanan Nasional Amerika (NSA), namun gagal. Meski begitu, menjadi intel bukanlah karir yang ia rencanakan. Hanssen berniat menjadi dokter. Karenanya selepas meraih gelar sarjana kimia, ia mengambil jurusan kedokteran gigi di Northwestern University. Prestasi akademiknya tergolong baik, namun ia mengaku kurang menyukai air liur. Walhasil ia banting stir, dan meraih gelar MBA di bidang akuntansi dan sistem informasi.

Sempat bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan selama beberapa bulan, Hanssen tak kuasa melawan panggilan hatinya. Ia memutuskan berhenti dan bekerja sebagai investigator bidang akuntansi forensik di KepolisianChicago.

Menginjak usia 32 tahun keinginannya tercapai, 12 Januari 1976, ia bergabung sebagai agen khusus Biro Investigasi Federal AS (FBI) di Gary,Indiana. Tiga tahun berselang, Hanssen minta dipindah ke kantor FBI diNew York. Awalnya, ia menangani divisi kriminal kemudian dipindah ke bagian kontra-intelijen dengan tugas menangani database agen-agen Soviet. Sebuah posisi yang membuatnya berada di tengah-tengah arus informasi yang teramat rahasia. Dan dari situlah karirnya sebagai agen spionase bermula.

Hanssen dengan cepat memanfaatkan banyak kelemahan dalam sistem keamanan internal FBI. Saat masih menjadi anggota divisi kriminal, ia mengambil keuntungan dengan tidak adanya pembatasan maupun pengawasan terhadap ruang penyimpanan dokumen rahasia, dan menghabiskan waktu hingga berjam-jam membaca data tentang agen-agen FBI yang menjadi spionase Soviet.

Dalam kurun waktu 25 tahun masa ‘pengabdiannya’, Hanssen dinilai sebagai agen dengan kemampuan rata-rata. Ia mempunyai kemampuan operasional teknis yang baik, terutama dalam sistem komputerisasi, namun lemah dalam hal manajerial dan hubungan interpersonal.

Mempunyai Dua Sisi Kepribadian

Hanssen lahir sebagai anak tunggal, yang kerap mengalami kekerasan emosional dari ayahnya yang seorang letnan polisi di KepolisianChicago. Ayahnya seringkali mengatakan padanya bahwa ia kelak tidak akan menjadi apa-apa. Dengan wewenangnya, bahkan ayah Hanssen sengaja menggagalkan ujian menyetir anak semata wayangnya itu. Menurut Hanssen, itu merupakan upaya ayahnya untuk “memenjarakannya.”

Keluarga Hanssen sendiri digambarkan sebagai keluarga yang harmonis. Bersama istrinya, Bonnie, mereka membesarkan enam anaknya dengan baik dalam didikan nilai-nilai katholik yang taat. Hanssen pun rutin menghadiri kebaktian Minggu di gereja dan bergabung dalam perkumpulan Katholik konservatif, Opus Dei.

Namun kehidupan pribadi Hanssen rupanya mempunyai dua sisi, sebagaimana pekerjaannya sebagai intelijen. Ia memiliki perilaku seksual menyimpang. Hanssen pernah memotret istrinya, Bonnie, dalam keadaan telanjang dan mengirimkan foto bugil itu kepada teman semasa SMA-nya, Jack Hoschouer. Ia bahkan memasang kamera tersembunyi di kamar tidurnya yang merekam hubungan intimnya dengan Bonnie, yang kemudian disaksikannya bersama teman-temannya.

Di lingkungan kerjanya, ia dikenal sebaga pribadi penyendiri, introvert dan serius. Bawahannya menganggapnya sombong dan suka menjaga jarak. Sedangkan atasannya menyebut Hanssen sebagai rekan kerja paling aneh, “Ia ibarat sandi yang kaku, masam, dan seorang religius yang fanatik.”

Tiga tahun bergabung dengan FBI, Hanssen melihat celah mewujudkan mimpi masa kecilnya. Hanssen mendapati begitu lemahnya mekanisme pencegahan, pendeteksian dan pengawasan dalam sistem keamanan FBI, sehingga ia bisa leluasa mengakses berbagai informasi rahasia bahkan dalam kapasitas yang bukan wewenangnya.

Tahun 1979 -1981, Hanssen memulai perannya sebagai mata-mata Soviet. Ia secara sembunyi-sembunyi menjual informasi kepada Direktorat Intelijen Soviet (GRU) dengan imbalan uang $21.000 atau setara ratusan juta rupiah. Salah satu bocoran informasi yang paling berharga terkait identitas informan Badan Intelijen AS (CIA), Dmitri Polyakov, yang punya kedudukan penting dalam angkatan perang Soviet. Namun tanpa alasan yang jelas, pemerintah Soviet tidak mengambil tindakan apapun terhadap Polyakov. Hingga pada tahun 1985, mereka mendapat informasi yang sama dari agen spionase CIA, Aldrich Ames. Polyakov akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ames dipersalahkan atas kasus ini, sedangkan Hanssen selamat.

Pada suatu hari di tahun 1981, istrinya Bonnie memergoki Hanssen sedang menulissuratkepada pihak Soviet di ruangan bawah tanah rumah mereka. Kepada Bonnie, Hanssen mengaku melakukannya demi uang. Namun ia berbohong dengan mengatakan bahwa informasi yang diberikan hanya berupa data intelijen palsu. Ia mengatakan telah melakukan pengakuan dosa kepada pendeta Opus Dei dan menyumbang $ 1.000 kepada organisasi sosial milik Bunda Theresa “Little Sisters of the Poor” sebagai penebus dosa. Kejadian ini membuat Hanssen menghentikan aktivitas spionasenya.

Menyuplai Ribuan Halaman Dokumen Rahasia

Laporan Departemen Kehakiman AS, 14 Agustus 2003, menyebutkan aksi spionase Hanssen disebabkan banyak faktor yang antara lain terkait instabilitas mentalnya, seperti perasaan rendah diri, keinginan untuk menunjukkan superioritas intelektualnya, kurangnya pemahaman moral dan kekagumannya yang luar biasa terhadap dunia spionase. Selain itu, ada pula faktor ekonomi dan kesempatan, lantaran lemahnya sistem pengamanan FBI.

Meski sempat vakum empat tahun, rupanya hasrat menjadi seorang agen spionase tidak dapat ia bendung. Tahun 1985, ia mendekati Badan Keamanan Negara Soviet (KGB) dan kembali menawarkan jasa menjadi mata-mata. Dalam suratnya kepada pihak KGB, ia menawarkan jasa untuk imbalan uang, sejumlah berlian untuk anak-anaknya dan “niat baik” berupa kesempatan untuk menjadi instruktur bagi para agen Soviet. “Ketika waktunya tiba, Anda akan menerima pelayanan profesional saya sebagai tenaga pengajar tamu,” kata Hanssen. Masih dalam surat yang sama, ia mengatakan keinginannya tersebut sudah merasukinya sejak lama. “Saat berumur 14 tahun, saya membaca buku tentang Kim Philby dan terinspirasi olehnya,” ujarnya menyebut nama agen intelijen Inggris yang kemudian membelot kepada Soviet.

Menggunakan nama sandi Ramon Garcia, ia menutup rapat identitasnya termasuk soal pekerjaannya terdahulu sebagai mata-mata GRU. Hanssen memberi KGB banyak informasi seputar aktivitas kontra-intelijen Soviet dan rahasia militer.

Tahun 1987, Hanssen diangkat sebagai supervisor dalam Unit Analisis Soviet di Kantor Pusat FBI. Posisi yang menurutnya amat menarik sebab memberi akses teramat luas terhadap semua komponen divisi intelijen dan data para agen FBI, berikut operasi teknisnya dalam upaya melawan Soviet. Pada periode ini pula, ia kedapatan membocorkan sebuah informasi rahasia kepada pihak luar. Namun anehnya tidak ada tindakan apapun yang diambil, termasuk untuk mencabut keleluasaan akses yang dimilikinya.

Selama kurun waktu enam tahun, fase terakhir Perang Dingin, Hanssen telah memberikan 6.000 halaman dokumen rahasia dan lusinan disk komputer kepada KGB yang memuat informasi tentang strategi nuklir, teknologi persenjataan militer, identitas mata-mata AS di Soviet dan berbagai program kontra-intelijen Soviet. Ia pun membuka identitas dua agen spionase AS di Soviet yakni Sergey Motorin dan Valeriy Martynov, keduanya lantas dihukum mati, sekaligus menutupi keberadaan agen Soviet di Departemen LuarNegeriAS, Felix Bloch.

Karir Hanssen di FBI terus menanjak. Ia dinilai mempunyai kemampuan teknis operasional dan analisis yang baik. Juni 1991, ia diangkat menjadi Program Manager Seksi Soviet, lalu menjabat kepala Unit Ancaman Keamanan Nasional (NTSL) setahun kemudian. Jabatan barunya ini menuntut kemampuan manajemen dan interpersonal yang baik, dua hal yang justru menjadi kelemahan Hanssen. Para bawahannya segera dapat melihat rasa frustrasi atasan mereka itu, lantaran kegagalannya dalam memberikan arahan dan petunjuk. Belum lagi hubungannya yang tidak harmonis dengan para agen lapangan. Di sini, ia pun kembali terlibat kasus pelanggaran serius dengan menyusup ke dalam sistem komputerisasi FBI dan mengakses dokumen kontra-intelijen Soviet milik atasan dan rekan kerjanya di Divisi Keamanan Nasional. Namun lantaran khawatir ketahuan, ia memutuskan melapor kepada manajemen FBI dengan dalih bermaksud menguji sistem keamanan komputer FBI. Taktiknya berhasil dan ia selamat.

Kinerja yang memburuk membuat karir Hanssen di NTSL mandek, sehingga ia dipindah ke kantor lapangan FBI di Washington. Tidak sampai setahun, ia lalu dimutasi mengisi pos FBI di Departemen Luar Negeri. Tugasnya mengatur misi luar negeri untuk mengamankan kebijakan luar negeri dan kepentingan keamanan nasional AS.

FBI memberinya komputer dilengkapi akses terhadap sistem jaringan komputer FBI (ACS) yang menyimpan informasi berbagai dokumen rahasia FBI. Padahal pekerjaannya saat itu tidak memiliki kepentingan atas informasi tersebut.

Posisi barunya ini memberinya keleluasaan untuk semakin menekuni aktivitas spionase. Setiap hari, ia hanya bekerja selama beberapa jam saja. Pekerjaannya yang tidak mempunyai kontribusi signifikan bagi FBI itu membuat Hanssen “dilupakan” dan luput dari pengawasan. Bahkan selama enam tahun bekerja disana, tidak ada satu pun dokumen mengenai evaluasi kinerjanya secara menyeluruh. Lagi-lagi, ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan FBI.

Dililit Hutang

Dalam periode kedua aksi spionasenya, Hanssen mulai melakukan banyak kecerobohan seperti memberi dokumen ataupun rekaman intelijen yang bisa menunjukkan identitasnya sebagai agen FBI, hingga merekomendasikan sahabatnya, Jack Hoschouer, yang menjabat atase militer AS di Jerman untuk menjadi mata-mata Soviet.

Kecerobohan ini pun berlanjut ke rumah. Saudara iparnya yang juga agen FBI, Mark Wauck, menemukan uang tunai $ 5.000 di dalam lemari pakaiannya. Wauck pun melaporkan penemuannya itu kepada supervisor di kantor FBIChicago, yang ternyata tidak ditindaklanjuti sama sekali.

Desember 1991, setelah menerima imbalan $ 12.000 dari KGB, Hanssen kembali memutuskan hubungan dengan pihak Soviet. “Saya merasa bersalah, terlebih setelah melakukan pengakuan dosa kepada pendeta,” ujar Hanssen dalam pengakuannya kepada penyidik yang tertuang dalam laporan Departemen Kehakiman tahun 2003. Namun pemerintah AS menyangsikan alasan tersebut. Pasalnya keputusan Hanssen untuk berhenti berbarengan dengan masa kejatuhan Uni Soviet, belakangan menjadi Federasi Rusia, dan gencarnya operasi penangkapan agen spionase di lingkungan FBI dan CIA. Situasi tersebut dapat memperbesar resiko terbukanya kedok Hanssen.

Namun masa tobatnya lagi-lagi hanya sementara. Hanssen menyebut ini lantaran kecanduannya terhadap dunia spionase. Juli 1993, ia berupaya menghubungi pihak Rusia dengan cara yang terbilang nekad, menemui langsung seorang petugas GRU di garasi apartemennya. Ia bahkan membuka identitasnya sebagai agan FBI yang pernah bekerja untuk KGB dengan nama sandi Ramos Garcia, dan menawarkan sebuah paket berisi kumpulan informasi terkait mata-mata Rusia yang sedang diintai FBI. Namun petugas GRU itu menolaknya dan melaporkan aksi Hanssen tersebut kepada atasannya.

Pihak Rusia protes, dengan menyebut itu provokasi. FBI pun segera melakukan investigasi, namun sayangnya tidak membuahkan hasil. Aksi nekad Hanssen tersebut diduga lantaran faktor ekonomi. Pada masa itu, ia banyak meminta hutangan dari para kerabatnya, termasuk pinjaman $ 10.000 dari sang ibu.

Meski gagal, toh ia tak patah arang. Tahun 1999, ia kembali menawarkan jasa kepada pihak KGB. Kondisi keuangan Hanssen saat itu masih belum pulih, malah semakin memburuk. Meski penghasilannya terbilang besar, namun itu tak bisa mengimbangi pengeluarannya yang konsumtif. Hutang kartu kredit, hutang kepada ibunya yang mencapai $ 94.000, cicilan pembelian mobil dan pinjaman bank, serta biaya pendidikan keenam anaknya.

Belum lagi kegemarannya mengunjungi klub penari telanjang berikut berbagai hadiah mewah untuk kekasih gelapnya, Pricillia Sue Galey, yang juga seorang penari telanjang. Hanssen membayar Gayle untuk menemaninya dalam perjalanan dinas ke Hongkong, membelikannya sebuah mobil Mercedez Benz, berbagai perhiasan mahal, memberikan uang tunai dan kartu kredit. Karenanya ia bertekad memperoleh dana $ 100.000 dari hasil barter dengan KGB.

Selama beberapa tahun berikutnya, ia menyuplai KGB dengan beragam informasi rahasia melalui cara “dead drop exchage” yakni menaruh informasi intelijen kemudian menerima bayaran pada waktu dan tempat yang ditentukan, tanpa perlu bertemu muka. Ada sekitar 20 tempat di Washington yang menjadi titik transaksi. Ia tidak pernah mau memakai lokasi yang dipilih oleh penghubungnya, Victor Cherkashin, melainkan menentukannya sendiri. Ia juga mendesain kode khusus dalam menetapkan waktu transaksi, yakni dengan menambah enam kepada hitungan bulan, hari dan jamnya. Misalnya jadwal 6 Januari, pukul 13.00 akan ditulis menjadi 12 Juli, pukul 19.00.

Terowongan Bawah Tanah di Kedutaan Rusia

Selama 22 tahun perannya sebagai agen spionase, sebenarnya terdapat sejumlah catatan maupun laporan dari kalangan internal FBI yang mencurigai aktivitasnya. Beruntung ia selalu bisa menyelamatkan diri. Diantaranya laporan agen Mark Wauck, yang juga saudara iparnya, pada tahun 1991 dan agen Earl Edwin Pitts pada tahun 1993, namun laporan keduanya itu tak pernah digubris.

Kejadian serupa berulang pada tahun 1995, Johnie Sullivan salah satu pejabat di kantor pusat FBI mendeteksi upaya Hanssen masuk ke dalam jaringan rahasia FBI. Hanssen berdalih bahwa ia hanya bermaksud menghubungkan mesin printer ke komputernya sehingga ia memakai pelacak password untuk bisa mengaktifkan password administrasi. Petinggi FBI mempercayai cerita karangan itu dan hanya memberinya peringatan untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Keberadaan agen Spionase Soviet di CIA, Aldrich Ames, turut menyelamatkan Hanssen. Sejumlah kasus besar terkait kehilangan sejumlah informan AS akhirnya ditimpakan kepadaAmes, yang ditangkap pada tahun 1994. Namun ada dua kasus besar lainnya yang tetap menjadi misteri yakni lolosnya mata-mata Soviet, Felix Bloch, dan bocornya informasi soal keberadaan terowongan rahasia di bawah kantor kedutaan besar Rusia di Washington.

Ketika pemerintah Soviet membangun kantor kedutaannya pada tahun 1977, FBI menggali terowongan tepat di bawahnya untuk mencuri dengar informasi rahasia Soviet, meski fasilitas itu tidak pernah digunakan lantaran takut ketahuan. Dan Hanssen membocorkan informasi tersebut pada September 1989, dengan imbalan $ 55.000.

Selain itu, pemeriksaan terkait informasi pribadi Hanssen juga teramat minim sehingga memberinya “rasa aman” untuk terus melakukan aksinya. Ia tidak pernah diminta melakukan uji deteksi kebohongan ataupun mengisi formulir laporan kekayaan, dan hanya sekali menjalani re-investigasi terkait latar belakangnya, selama 25 tahun berkarir di FBI.

Gara-Gara Ucapan Tak Senonoh

Kegagalan berulang dalam mengungkap agen spionase Rusia, membuat FBI mengambil taktik baru yakni membeli identitas “si penyelundup” melalui agen Rusia. FBI menemukan kandidat yang tepat, seorang pengusaha Rusia yang juga mantan agen KGB. Sebuah perusahaan AS lantas ditugasi mengundangnya datang ke AS dengan kedok pertemuan bisnis. Kepadanya dijanjikan uang $ 7 miliar. Ia mengaku tak bisa menyebut nama, namun dapat memberikan data mata-mata Rusia semenjak tahun 1985-1991, berikut sebuah rekaman suara Ramon Gracia. Namun ketika diperdengarkan, tak ada satu pun agen FBI yang bisa mengenali suara dalam rekaman tersebut.

Tak menyerah, mereka menelusuri satu-persatu dokumen lain yang ada. Hingga ditemukan sebuah catatan, berisi ucapan tak senonoh dari Jenderal George S. Patton, yang kerap ditirukan Hanssen ketika ia mengerjai rekan-rekan kerjanya. Mereka lantas mendengar ulang rekaman suara Ramon Gracia dan merasa yakin itu suara Hanssen. Pada sejumlah paket juga ditemukan bekas sidik jarinya. Tak diragukan lagi, Hanssen adalah mata-mata Rusia.

Sejak saat itu, Hanssen berada dalam pengawasan ketat FBI. Ia pun ditarik ke kantor pusat FBI dan mendapat asisten bernama Eric O’Neill, yang sebenarnya adalah pegawai FBI. Suatu hari, O’Neill berhasil membuka gadget pribadi Hanssen yang ternyata menyimpan berbagai data intelijen untuk diberikan kepada pihak Rusia. Gotcha!

Sementara itu, Hanssen sendiri mulai merasakan ada yang tak beres. Awal Februari 2001, ia meminta dicarikan pekerjaan kepada seorang temannya di perusahaan teknologi komputer. Ia pun menulis surat perpisahan kepada pihak Rusia, “Saya dipromosikan menempati posisi baru yang tidak melakukan apa-apa, di luar akses informasi reguler. Sepertinya sesuatu telah terjadi.” Namun firasatnya itu tak lantas menghentikan aksinya.

18 Februari 2001, Hanssen menghabiskan waktu akhir pekannya bersama sahabatnya, Jack Hoschouer, di rumahnya di kawasan Northern Virginia. Usai bersama-sama mengikuti kebaktian di gereja, ia mengantar Hoschouer ke DullesAirport untuk kembali ke Jerman. Namun sesampainya di bandara tiba-tiba saja Hanssen pamit pulang. “Maaf aku tidak bisa menemanimu menunggu pesawat, ada urusan mendadak,” ujarnya lalu bergegas pergi.

Hanssen memacu kencang mobilnya melewati jalan raya Dulles menuju kawasan Washington Beltway. Ia tidak tahu bahwa mobil tim pengintai FBI berada tepat di belakangnya. Hanssen turun dan membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan sejumlah dokumen intelijen FBI dengan stempel RAHASIA tertera di atasnya. Total ada tujuh berkas. Ia juga menyertakan sepucuk surat perpisahan lalu membungkus semuanya dalam tas plastik besar.

Sejumlah agen FBI terus mengikuti gerak-geriknya. Mereka tahu pasti tujuan Hanssen adalah Foxstone Park, sebuah tempat rekreasi alam seluas 14 hektar yang berjarak kurang dari satu mil dari tempat tinggal Hanssen. Ia lalu berjalan menuju jembatan kayu, dan meletakkan paket yang telah terbungkus rapi itu di bawahnya. Tiba-tiba… “Jangan bergerak, FBI!” seru seorang agen FBI, menodongkan senjata.Adasepuluh agen FBI yang mengepungnya. Seorang agen lantas membacakan hak-haknya, dan seorang lainnya memborgol kedua tangan Hanssen. Saat itu, ia menyadari bahwa karirnya sebagai agen spionase sudah berakhir. “Apa yang membuat kalian begitu lama?” tanya Hanssen.

Robert Philip Hanssen, 6 Juli 2001, dinyatakan bersalah telah menjual informasi rahasia AS kepada pihak Rusia untuk imbalan uang total mencapai $ 600.000 dan sejumlah berlian. Ia pun diganjar hukuman seumur hidup di Penjara Biro Federal di Florence,Colorado. Laporan Departemen Kehakiman AS, tahun 2003, merekomendasikan agar FBI mengubah sistem pengamanan internalnya, tidak lagi berdasarkan prinsip kepercayaan melainkan berdasarkan prinsip pencegahan dan pendeteksian. Masuk akal, sebab dalam pemeriksaan Hanssen mengaku,”Jika saat itu saya berpikir resiko ketahuannya besar, niscaya aku tidak akan melakukannya.”

Tinggalkan komentar